Teks
Bacaan : Mazmur 146 : 1-2.
Saudara-saudara
yang dikasihi Tuhan Yesus
Saya
percaya saat ini saudara merasa begitu letih, begitu lelah. Oleh karena kurang
lebih 3 hari saudara-saudara dilibatkan dalam suatu perjuangan berat yaitu
lomba pesta Paduan Suara Gerejawi.
Perjuangan
itu malah sudah kita mulai dari proses audisi, latihan, mencari dana dstnya
untuk bisa terlibat dalam kegiatan perlombaan ini, dengan satu harapan, meraih kemenangan.
Mungkin saja mengawali perjuangan ini, kita salah paham satu dengan yang lain,
kita membuat perasaan orang lain, teman kita tidak enak dll. Ya itulah dinamika
dari persiapan sebuah perlombaan, tapi kita bersyukur bahwa kita bisa melewati
semua hal itu sehingga kita bisa bertanding.
Tapi
ada satu perkara yang mau saya hadapkan kepada saudara bahwa biasanya diakhir
sebuah perlombaan atau pekerjaan, selalu saja ada dua perasaan yang muncul puas
atau tidak puas (kecewa).
Puas
dengan hasil perlombaan itu atau tidak puas dengan hasil perlombaan itu. Dan biasanya perasaan tidak puas itu kadang
lebih besar.
Berkenaan
dengan hal itu ada orang bijak yang bilang begini ; “Kepuasaan bukan terletak pada apa
yang kita harapkan, tetapi apa yang kita miliki.”
Pernyataan
ini memberikan indikasi bahwa memang tidak semua hal yang kita harapkan bisa
kita raih. Ada
yang bisa kita raih, tetapi ada yang tidak bisa kita raih. Katakanlah kita
punya keterbatasan-keterbatasan tertentu yang mesti di terima dengan iman.
Kenapa
? Karena apa yang kita peroleh itu, tidak satupun yang tidak kita terima dari
Tuhan, demikian kata Rasul Paulus dalam I Korintus 4: 7b. Atau
dengan kata lain firman Tuhan mau bilang bahwa semua yang kita peroleh itu
adalah anugerah dari Tuhan.
Sehingga
yang patut dilakukan oleh setiap orang percaya dalam menghadapi berbagai situasi
adalah bersyukur, terhadap apa yang diperoleh dan bukan kecewa misalnya.
Ini
tidak berarti bahwa kita tidak boleh marah, protes, terhadap kebijakan, atau
perlakukan, atau penilain yang tidak adil misalnya. Tidak !!!
Kita
harus menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Karena itu bila
kecurangan, ada ketidakadilan kita punya tanggung jawab untuk meluruskannya,
tetapi tentunya dengan cara-cara yang santun.
Terkait
dengan itu saudara, ada satu hal yang begitu penting yang mau dikatakan
pemazmur 146, bagi kita adalah soal kesempatan untuk memuliakan Tuhan. Pemazmur bilang ; “aku mau memuliakan Tuhan
selama aku hidup, dan bermazmur bagi Allahku selagi aku ada.”
Pemazmur
mau mengajak kita untuk melihat hidup ini sebagai suatu kesempatan untuk
memuliakan Tuhan. Bahwa sepanjang aku masih ada, sepanjang hayat masih
dikandung badan pemazmur bekomitmen untuk terus memuji dan memuliakan Tuhan.
Pemazmur tidak mau kesempatannya untuk hidup itu digunakan untuk hal-hal yang
tidak berguna dan mendatangkan dosa dan kecemaran misalnya, tetapi ia mau agar
setiap perbuatannya itu Tuhan dimuliakan.
Dalam
kenyataan seperti ini, maka masalahnya tidak terletak pada soal kalah atau
menang dalam suatu perlombaan, bukan soal puas atau kecewa terhadap hasil perlombaan,
tetapi soal maukah kita memanfaatkan seluruh potensi yang diterima untuk
memuliakan Tuhan, selama kita masih bisa melakukannya. Ini yang jauh lebih
penting.
Tidak
semua orang yang bisa seperti kita, terlibat dalam lompa paduan suara gerejawi.
Padahal mungkin mereka sangat menginginkannya. Tidak semua orang yang bisa
punya suara merdu seperti kita. Tidak semua orang yang punya bakat menjadi
pelatih. Karena itu sepanjang kita masih ada, masih mampu, masih kuat, mari
kita gunakan semuanya dengan sungguh-sungguh untuk memuliakan Tuhan. Dalam
ibadah pembukaan pesparawi saya bilang bahwa perlombaan yang sebenarnya bukan
dalam Pesparawi ini, tetapi dia hanya starting point bagi kita untuk memulainya
di tengah-tengah keseharian hidup kita.
Karena itu apapun hasil yang kita capai di hari ini, mestinya kita
menerimanya dengan syukur dan bangunlah komitmen untuk terus memuliakan Tuhan
dalam hidup sesehari kita, amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar